Busana pengantin bermula pada abad pertengahan. Ketika itu, warna dan jenis bahan yang dikenakan menjadi penanda status sosial seseorang. Hanya kaum kerajaan dan bangsawan yang bisa menggunakan bahan sutra, satin, beludru, dan renda, dengan warna-warna yang indah, seperti emas, ungu, dan biru.
Ketiga warna itu dianggap mahal karena memang proses pencelupannya membutuhkan bahan yang tak murah. Warna ungu kerajaan (tyrian purple), misalnya, dihasilkan dengan mengekstrak lendir keong langka. Karena itu, warna putih tak dipilih karena dianggap tak melambangkan kemahalan.
Warna putih sebagai gaun pengantin baru muncul setelah tahun 1840, ketika Ratu Victoria mengenakan gaun pengantin putih saat menikah dengan Pangeran Albert of Saxe-Coburg. Karena yang memakai adalah ahli waris kerajaan, tak ada yang mengatakan gaun putih itu murahan. Apalagi ada renda Honiton sebagai penghiasnya.
Berjayanya gaun pengantin putih kembali mendapat perhatian masyarakat dunia ketika pernikahan Putri Diana dengan Pangeran Charles pada 1980. Sejak era Victorian, tradisi mengenakan gaun pengantin putih ditiru dan dilestarikan para wanita. Kemudian pilihannya tidak hanya warna putih pucat, tapi juga nuansa gradasi putih, seperti krem, champagne, broken-white, off white, dan gading.