Salah satu pemrogram Windows 8 asal Indonesia, Herman Widjaja. |
Jakarta - Siapa yang tidak bangga bekerja sebagai pemrogram di salah satu raksasa industri perangkat lunak (software) komputer Amerika Serikat, Microsoft Corporation?
Selain menenteng nama perusahaan berkelas internasional, seorang pemrogram Microsoft bergaji total rata-rata sekitar 110 ribu dolar AS per bulan menurut situs internet Glassdoor.
Kebanggaan itulah yang tampaknya dirasakan Herman Widjaja, warga asli Tebet Jakarta Selatan, yang sekarang bekerja sebagai Manajer Kontrol Kualitas (senior test lead) di produk Windows.
Keahlian utama alumnus jurusan Ilmu Komputer dan Teknik Elektro Monash Univerity Australia itu dalam produksi Windows adalah bidang rekayasa pencetakan (printing) dan grafis.
Herman terlibat pula dalam uji kualitas Windows Vista, Windows Server 2008, Windows 7 dan Windows 8, sebelum produk-produk tersebut di-distribusikan ke berbagai pasar dunia.
"Saya dan tim yang terdiri dari lima orang teknisi bertugas mengemas dan mengkonversi data yang ada di monitor komputer sehingga dapat terbaca di printer, baik melalui koneksi universal serial bus (USB) atau PS/2, agar dapat dicetak," kata Herman dalam pertemuan dengan sejumlah media di Jakarta beberapa waktu lalu.
Selama tujuh tahun bekerja dan terlibat dalam berbagai lini Windows, Herman telah mengajukan sembilan hak paten atas karyanya. Dua dari sembilan paten itu telah disetujui pemerintah Amerika dan tiga paten sudah dapat dipublikasikan.
"Ketika melihat software yang telah dibuat lalu dipakai banyak orang di seluruh dunia, saya bangga. Namun, kebanggaan yang lain adalah membawa nama Indonesia dalam peta industri komputer di Amerika," kata pria yang telah bergabung di Microsoft sejak Februari 2005 itu.
Keuntungan bekerja sebagai teknisi di perusahaan yang didirikan Bill Gates dan Paul Allen itu, menurut Herman, adalah jam kerja yang cukup lentur.
"Namun, terkadang kami harus saling bertemu untuk mengolaborasikan pekerjaan. Kalau di tim yang saya pimpin, jam kerja mulai pukul 10.00 hingga 15.00 sehingga ada waktu di mana semua orang dapat bertemu secara langsung," kata pria yang mengawali karir di industri perdagangan elektronik (e-commerce) itu.
Perusahaan yang masuk dalam daftar indeks 100 saham pilihan bursa NASDAQ itu memegang prinsip work life balance (keseimbangan waktu kerja) bagi para karyawannya.
"Kami sering memproyeksikan pekerjaan yang akan dilakukan selama tiga bulan depan melalui perencanaan," kata Herman.
Bapak dari dua orang puteri itu mengatakan para pekerja di perusahaan yang bermarkas di Redmond negara bagian Washington itu tidak mempermasalahkan negara asal seseorang.
"Bahasa bukan kendala bagi tim kami selama kinerja yang ditunjukkan berkualitas," katanya.
Pemrogram asal Indonesia
Dalam pengamatan Herman di Redmond, terdapat lebih dari 75 warga Indonesia yang bekerja di Microsoft, selain dirinya.
"Orang Indonesia yang sempat saya temui itu 75 orang. Umur mereka bervariasi antara 20 hingga 40 tahunan," kata karyawan yang tinggal di daerah Sammamish, Washington, itu.
"Hampir 80 persen dari jumlah itu adalah para pemrogram dan bekerja di kelompok produk seperti Microsoft Windows, Microsoft Office, Microsoft Exchange, dan Bing, sedangkan sisanya bekerja di bagian keuangan atau akuntan," katanya.
Herman menceritakan karyawan-karyawan Microsoft asal Indonesia seringkali berkumpul sebulan sekali untuk makan siang bersama ketika dia memulai karir di Redmond. Tapi, jumlah mereka kian menyusut lantaran sebagian besar pindah kerja.
Bersama rekan pemrogram asal Bandung, Herman berusaha mengumpulkan kembali orang-orang Indonesia di perusahaan yang dipimpin Steve Ballmer itu melalui forum surat elektronik.
"Sekarang, kami dapat mengumpulkan 15-20 orang untuk makan bersama sebulan sekali," katanya.
Dalam pertemuan-pertemuan makan siang itu, mereka mendiskusikan pula keinginan untuk berkontribusi bagi tanah air.
"Kami sebagai pemrogram ingin membagi pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh di Amerika. Tujuan kami adalah ingin menempatkan lebih banyak orang Indonesia dalam peta teknologi infomatika (IT) dan mendorong generasi muda Indonesia agar dapat berkompetisi dengan negara lain," kata manajer tim grafis itu.
Tentunya, ada sejumlah keterbatasan bagi Herman dan para pemrogram Microsoft lain untuk berbagi infomasi secara luas terkait aturan-aturan perusahaan.
"Kami akan melihat apa yang dapat dilakukan karena saya percaya dari 75 orang itu pasti ada yang suka menulis di blog. Saya sendiri mulai aktif di Facebook untuk berbagi hal-hal baru tentang produk Microsoft," katanya.
Potensi IT Indonesia
Herman menilai dalam hal ide dan kemampuan teknis pemrogram dari Indonesia tidak kalah dengan para pemrogram perangkat lunak dari negara lain.
Hanya saja, pemrogram Indonesia cenderung merasa kurang percaya diri karena kurang penguasaan bahasa Inggris yang tidak lancar.
"Penguasaan bahasa Inggris saya tidak begitu bagus, tapi itu tidak menjadi halangan untuk berkomunikasi," katanya.
Herman mengatakan sejumlah pekerja IT dari Indonesia di Amerika berharap dapat kembali ke tanah air. Mereka percaya industri IT Indonesia layaknya 'ladang hijau'.
Pengembangan perangkat lunak atau aplikasi dan penyediaan infrastruktur berserta layanan jaringan internet merupakan potensi utama yang dimiliki Indonesia menurut alumnus SMA Kanisius itu.
"Kalau di sisi perangkat keras (hardware), Indonesia masih terbatas hanya sebagai pengguna," kata Herman.
Meskipun demikian, ancaman dari penggunaan perangkat lunak ilegal (bajakan) masih berpotensi menghambat pengembangan industri informatika di Indonesia.
"Sebenarnya ada banyak insentif yang diperoleh pengguna jika memakai produk asli. Pengguna software legal akan selalu menerima pembaharuan keamanan untuk memastikan bahwa sistem operasi yang digunakan aman," katanya.
Setelah Herman, tentunya masih banyak curahan hati dari para pemrogram komputasi anak negeri yang bermimpi mengembangkan industri IT di bumi pertiwi.
(I026)